Trilogi van Deventer atau Trias van Deventer lahir dari kritikan atas pelaksanaan kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) pemerintah kolonial Belanda. Trilogi tersebut dikenal juga dengan politik etis atau politik balas budi di Hindia Belanda atau Indonesia.
Politik etis ini dicetuskan oleh seorang pengacara dan ahli hukum Belanda bernama lengkap Conrad Theodore (Coen) van Deventer. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, Coen van Deventer didampingi istrinya Elisabeth M. (Betsy) Maas meninggalkan Belanda.Selama 17 tahun mereka berada di Hindia Belanda. Awalnya menetap di Ambon dan terakhir di Semarang. Pada 1897, mereka kembali ke Belanda dan pada 1899 van Deventer menerbitkan artikel berjudul Een eereschuld (Utang Kehormatan) di jurnal De Gids.
Van Deventer menilai semua kebijakan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap tanah jajahannya sangat mengeksploitasi. Oleh karena itu, Van Deventer menuntut pemerintah Belanda untuk bisa mengelola anggaran belanjanya bagi rakyat Hindia Belanda.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan utang budi terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda.
Dari situlah lahir kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika atau juga dikenal dengan Trilogi van Deventer meliputi:
Migrasi yaitu mengajak penduduk untuk transmigrasi
Irigasi (pengairan) yaitu membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
Edukasi yaitu memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Hanya saja dalam kenyataannya, tiga poin yang diajukan van Deventer malah menuai banyak penyimpangan . Adapun isi dan penyimpangan dari politik etis atau Trilogi van Deventer ini di antaranya sebagai berikut:
1. Migrasi
Kebijakan tanam paksa ini menjadikan rakyat pribumi harus menyerahkan tenaganya untuk menanam. Pemerintah Belanda tidak memberikan opsi untuk memberikan hasil bumi saja, namun memilih untuk mengeksploitasi tenaga rakyat.
Lebih parahnya sistem kebijakan tanam paksa ini banyak menyebabkan rakyat pribumi mati kelaparan, sehingga jumlah masyarakat Jawa pada saat itu berkurang banyak.
Melalui poin migrasi ini, van Deventer berpendapat bahwa rakyat pribumi harus diberikan kesempatan untuk melakukan migrasi (perpindahan penduduk). Hal ini agar jumlah masyarakat di daerah lain bisa merata.
Akan tetapi, pemerintah Belanda hanya melakukan migrasi bagi beberapa penduduk ke daerah perkebunan milik Belanda, sehingga tenaga mereka kembali dimanfaatkan.
2. Irigasi
Tidak hanya di bidang pertanian, namun Belanda pun mengeksploitasi sistem saluran milik rakyat pribumi. Tentunya, keuntungan pun bukan berpihak pada rakyat pribumi melainkan pemerintah Belanda.
Sistem pengairan yang diambil alih Belanda ini memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi Belanda untuk mengeruk kekayaan hasil alam Indonesia.
Van Deventer berpendapat bahwa sistem pengairan ini harus dilimpahkan kepada penduduk juga. Dengan begitu, penduduk bisa mengairi sawah mereka masing-masing dan bisa mendorong kesejahteraan mereka.
Bukan disalurkan kepada lebih banyak sistem irigasi pribumi, Belanda mengarahkan saluran irigasi tersebut ke perkebunan swasta milik mereka.
3. Pendidikan
Kebijakan mengenyam pendidikan bagi pribumi sayangnya hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan, sedangkan rakyat biasa tidak bisa menempuhnya.
Namun realitanya, fasilitas pendidikan yang disediakan oleh Belanda hanya dimaksudkan untuk memperoleh tenaga terampil yang bisa dipekerjakan dan dibayar murah.
Misi pemberian pendidikan Trilogi van Deventer ini tidak bisa dirasakan oleh rakyat biasa yang lebih membutuhkan pendidikan itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar